Sabtu, 09 Juni 2018

Makna Opini Laporan Keuangan Pemerintah yang Diberikan oleh BPK


Opini Laporan Keuangan Pemerintah dari BPK
Terdapat tiga jenis laporan keuangan (LK) pemerintah yang diberikan opini oleh BPK, yaitu ❶LK Pemerintah Daerah (LKPD), ❷LK Kementerian/Lembaga (LKKL), dan ❸LK Pemerintah Pusat (LKPP). Penggabungan atau konsolidasian LKKL menghasilkan LKPP. Opini atas LKPP merupakan cerminan opini atas LKKL secara keseluruhan.

Dalam periode akhir bulan April hingga awal bulan Mei setiap tahunnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melakukan rentetan acara penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan (LK) Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Instansi Lainnya (K/L/D/I), baik di level Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Rentetan tersebut muncul karena adanya kewajiban setiap instansi pemerintah menyerahkan LK ke BPK untuk diperiksa paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir (atau tanggal 31 Maret) serta adanya kewajiban BPK untuk menyerahkan LHP atas LK yang diserahkan selambat-lambatnya 60 hari setelah laporan keuangan diterima (atau tanggal 31 Mei). Tentu ada kemungkinan satu-dua instansi yang terlambat menyerahkan laporan keuangannya, yang hingga saat ini sepengetahuan Saya, belum pernah ada pengenaan sanksi apapun dari BPK karena memang tidak ada aturan yang mendasari pemberian sanksi seperti itu.

Dimana Opini BPK akan dinyatakan?
Umumnya setiap penyelesaian kegiatan pemeriksaan LK, akan dihasilkan tiga buku LHP yang diistilahlah sebagai Buku I, Buku II, dan Buku III. Buku I berisi lembar opini yang diberikan BPK serta LK yang telah diperiksa (audited financial statement). Buku II berisi temuan-temuan pemeriksaan terkait kelemahan dalam penerapan sistem pengendalian intern. Buku III berisi temuan-temuan pemeriksaan terkait kepatuhan auditee terhadap  peraturan perundang-undangan. Merupakan sesuatu yang langka terjadi, namun pernah Saya saksikan, LHP hanya ada dua buku, misalnya tidak ada temuan pemeriksaan terkait kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan sehingga Buku III tidak ada. Informasi mengenai jumlah buku LHP yang diterbitkan untuk suatu pemeriksaan dapat diketahui dari Resume Hasil Pemeriksaan yang terdapat di bagian awal Buku II dan III.

BPK akan menyerahkan LHP tersebut serentak kepada tiga pimpinan instansi terkait, yaitu ❶kepala instansi, presiden, atau kepala daerah; ❷pimpinan DPR atau pimpinan DPRD; dan ❸kepala satuan pengawas internal atau inspektur. Sesuai ketentuan, 60 hari sejak LHP diterima, entitas yang diperiksa wajib melaksanakan rekomendasi BPK yang diuraikan di LHP, khususnya dalam Buku II dan III.

Salah satu dari empat jenis opini berikut akan disebutkan dalam Buku I, yaitu ❶Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau variannya Wajar Tanpa Pengecualian ditambah Paragraf  Penjelasan (WTP-PP), ❷Wajar Dengan Pengecualian (WDP), ❸Tidak Wajar (TW), atau ❹Pernyataan Tidak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP).

Bagaimana opini tersebut dihasilkan?
Opini adalah pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa, setelah melakukan pemeriksaan sesuai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), mengenai kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Opini didasarkan pada kriteria berikut:
  1. Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP),
  2. Kecukupan pengungkapan (adequate disclosures),
  3. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan
  4. Efektivitas sistem pengendalian intern.
Buku I yang memuat opini atas laporan keuangan merupakan capaian dari tujuan pemeriksaan poin 1 dan 2, sedangkan Buku II dan Buku III masing-masing merupakan capaian dari tujuan pemeriksaan poin 3 dan 4. Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa, opini merupakan penilaian BPK terhadap laporan keuangan yang diperiksanya, apakah telah menyajikan seluruh kegiatan entitas pembuat laporan, khususnya kegiatan yang terkait keuangan, sesuai pedoman dalam SAP serta apakah telah mengungkap seluruh informasi penting terkait kegiatan entitas pembuat laporan keuangan selama periode pelaporan dan pengaruhnya di masa depan. Pengambilan opini tidak dapat lepas dari konsep materialitas atau signifikansi, artinya apabila ditemukan kesalahan penyajian yang nilainya masih dibawah nilai materialitas yang ditetapkan dalam perencanaan pemeriksaan, maka kesalahan tersebut tidak dipertimbangkan dalam pengambilan opini, karena dianggap sebagai kesalahan yang tidak material atau tidak signifikan.

Contoh kasus, tahun 2017 terdapat kegiatan pembangunan bangunan kantor dinas senilai Rp2 milyar yang telah diserahkan kontraktor pekerjaan kepada pemerintah daerah, namun masih tersisa tagihan kontraktor sebesar Rp150 juta yang belum dibayar pemerintah daerah hingga tanggal 31 Desember 2017. Terkait kejadian tersebut, maka BPK antara lain akan memastikan apakah:
  1. bangunan kantor yang diterima, telah dicatat pada akun dan nilai yang tepat sesuai SAP, diantaranya dalam Laporan Realisasi Anggaran (sebagai realisasi Belanja Modal), dalam Neraca (terdapat penambahan Aset Tetap Bangunan dan Gedung serta penghitungan Beban Depresiasi dan Akumulasi Depresiasi), dalam Laporan Operasional (penghitungan Beban Depresiasi)?
  2. sisa tagihan yang belum dibayar telah dicatat pada akun dan nilai yang tepat sesuai SAP, yaitu dalam Laporan Realisasi Anggaran (sebagai Penerimaan Pembiayaan) dan dalam Neraca (sebagai Utang kepada Pihak Ketiga)?
  3. daftar saldo Aset Tetap telah didukung dengan rincian dalam dokumen Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D)?
  4. persentase penyelesaian bangunan kantor tersebut telah sesuai dengan laporan kemajuan fisik dan berita acara serah terima hasil pekerjaan?
  5. seluruh informasi penting lainnya terkait bangunan kantor (misal, ternyata bangunan tersebut masih dikuasai/disandera oleh kontraktor karena tagihannya belum dilunasi) telah diungkap secara memadai dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)?
Apakah semua kegiatan pemerintah diperiksa sesuai contoh kasus yang diuraikan di atas?
Terdapat dua kategori pengujian dalam prosedur pemeriksaan, yaitu uji kepatuhan (compliance test) dan uji substansi (substantive test), dengan penjelasan sebagai berikut:
  1. Compliance test adalah pengujian terhadap bukti-bukti transaksi untuk mengetahui apakah setiap transaksi yang terjadi sudah dicatat sesuai dengan sistem dan prosedur yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam pengujian ini, pemeriksa memperhatikan kelengkapan bukti pendukung (supporting schedule), kebenaran perhitungan matematis (footing, cross footing, extension), otorisasi dari pejabat yang berwenang, kebenaran akun yang di debit/kredit, serta kebenaran posting ke buku besar dan sub buku besar (buku bantu).
  2. Substantive test adalah pengujian terhadap kewajaran saldo perkiraan laporan keuangan. Dalam pengujian ini, pemeriksa melaksanakan antara lain pengujian atas pengelolaan aset tetap (keberadaan, hak dan kewajiban, dll), pengujian atas pengelolaan persediaan (stock opname), konfirmasi piutang, utang, dan bank, identifikasi kejadian setelah tanggal neraca (subsequent event) yang mempengaruhi LK, pengujian pengelolaan kas (cash opname dan rekonsiliasi bank), pemeriksaan kegiatan fisik infrastruktur (physical inspection), dll.
Pelaksanaan compliace test umumnya dapat dilakukan untuk seluruh kegiatan pemerintah (secara populasi), karena terkait dengan penyiapan dokumen-dokumen untuk dilakukan pemeriksaan dalam ruangan. Namun untuk substantive test, yang membutuhkan pengujian lebih mendalam dan kebanyakan harus dilakukan di luar ruangan, maka dengan jumlah sumberdaya manusia dan waktu yang terbatas, tidak mungkin dapat dilakukan untuk seluruh kegiatan. Karena itu dikenal konsep pemeriksaan secara uji petik (secara sampel). Umumnya 30% hingga 70% kegiatan yang dapat dilakukan substantive test.

Apakah Opini WTP menjami entitas yang diperiksa bebas dari kegiatan terkait KKN?
Terdapat tiga risiko dalam pemeriksaan laporan keuangan, yaitu risiko bawaan (inherent risk), risiko pengendalian (control risk), dan risiko deteksi (detection risk). Untuk penjelasan masing-masing risiko banyak diuraikan dalam artikel internet, sehingga pembaca dapat menelusuri sendiri dengan bantuan google. Risiko bawaan dan risiko pengendalian berada dalam ranah pemerintah, sedangkan risiko deteksi berada dalam ranah pemeriksa.

Risiko deteksi merupakan risiko terjadi kegagalan pemeriksa BPK untuk menemukan salah saji material dalam LK. Prosedur pemeriksaan yang dikerjakan diharapkan dapat menemukan salah saji tersebut, baik yang terjadi karena kecurangan (fraud) maupun kesalahan (error). Namun kondisi berikut ini, dapat menyebabkan salah saji tersebut tidak terdeteksi, yaitu:
  1. Kesalahan pemeriksa BPK dalam melaksanakan prosedur pemeriksaan, misalnya dalam melaksanakan tugasnya, pemeriksa tidak meminta bukti pendukung berupa dokumen asli, namun percaya saja pada dokumen photo copy yang rentan dimodifikasi.
  2. Prosedur pemeriksaan yang penting dan kritis tidak dilakukan pemeriksa BPK, misalnya pemeriksa tidak melakukan konfirmasi kepada bank mengenai kebenaran saldo rekening koran yang dilaporkan bendahara.
  3. Kegiatan yang terkait salah saji tidak masuk dalam sampel pemeriksaan BPK, yang mungkin terjadi karena keterbatasan sumber daya pemeriksa dan waktu penugasan pemeriksaan yang terbatas.
Adanya ketiga risiko tersebut, terutama risiko deteksi yang dialami oleh pemeriksa BPK karena keterbatasan sampel pemeriksaan, maka ada kemungkinan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam suatu kegiatan tidak ditemukan dalam pemeriksaan. Bahkan nepotisme kemungkinan besar tidak terdeteksi karena pemeriksa yang baru mengenal auditee pada saat penugasan.

Jadi, sebenarnya apa makna dari empat opini BPK tersebut?
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa opini merupakan hasil penilaian terhadap penyajian dan pengungkapan dalam LK sesuai SAP, maka makna opini yang diberikan merupakan simpulan terhadap LK yang diperiksa, yaitu:
  1. Opini WTP, artinya bahwa LK telah disajikan sesuai SAP dan seluruh informasi telah diungkap secara memadai, tanpa ada kesalahan yang material.
  2. Opini WDP, artinya bahwa LK telah disajikan sesuai SAP dan seluruh informasi telah diungkap secara memadai, tanpa ada kesalahan yang material, kecuali pada akun tertentu. Penjelasan atas pengecualian tersebut akan dijelaskan secara ringkas dalam satu paragraf di opini dan diuraikan secara lebih detil pada Buku II atau Buku III.
  3. Opini TW, artinya bahwa terdapat kesalahan yang cukup material yang menunjukkan LK tidak disajikan sesuai SAP. Kesalahan tersebut akan diuraikan secara ringkas dalam satu paragraf di opini dan diuraikan secara lebih detil pada Buku II atau Buku III.
  4. Opini TMP, artinya bahwa BPK dalam melakukan prosedur pemeriksaan, tidak memperoleh cukup keyakinan untuk mengeluarkan pendapat atas LK karena kondisi tertentu. Kondisi yang mengakibatkan hal tersebut akan dijelaskan secara ringkas dalam satu paragraf di opini dan diuraikan secara lebih detil pada Buku II atau Buku III.
Pada kesempatan lain, Saya akan membuat tulisan mengenai SPKN yang wajib dipedomani oleh seluruh pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan atas entitas pemerintahan, termasuk oleh pemeriksa Kantor Akuntan Publik (KAP) yang melakukan pemeriksaan atas nama BPK.
logoblog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Known commenters are the best, anonymous' are also welcome, spammers please go away.