Bisa ada banyak kemungkinan alasan, baik yang sifatnya positif maupun negatif - entah itu benar atau tidak benar, sehingga beberapa pemerintah daerah/pusat mengangkat tenaga honorer di lingkungannya, antara lain:
- Menutupi kekurangan sumber daya manusia di instansinya, sehubungan dengan pembatasan penerimaan PNS oleh pemerintah pusat.
- Memenuhi kebutuhan kualifikasi atau kompetensi personel di bidang tertentu, misalnya kebutuhan sarjana akuntansi untuk personel di bagian keuangan atau sarjana komputer/informatika di bagian pengolahan data elektronik, dan lain-lain.
- Titipan dari pihak lain, bisa dari anggota legislatif (DPR/DPRD), instansi vertikal, atau bahkan titipan dari saudara/teman dekat muspida.
- Memberdayakan saudara atau teman dekatnya.
Alasan nomor 3 dan 4 tentu saja merupakan alasan bersifat negatif, yang mudah-mudahan tidak terjadi di bumi Indonesia. Namun jika menggunakan alasan nomor 1 dan 2, apakah tepat dari aturan perundang-undangan? Dari pertanyaan dan jawaban di lapor.go.id, dapat diketahui bahwa ternyata pengangkatan tenaga honorer untuk kebutuhan pendidikan pun dianggap pihak Kemendagri tidak sesuai dengan ketentuan.
Saya pernah melihat di suatu daerah kabupaten, adanya pengangkatan tenaga honorer yang sangat banyak, sehingga pengeluaran untuk membayar gaji/honor mereka lumayan menguras APBD hingga Rp79 milyar, yang kebetulan direalisasikan pada Belanja Pegawai. Sudut pandang permasalahan yang diangkat, dapat dibaca pada temuan berikut (tanpa Lampiran terkait):
Pengangkatan
Pegawai Honorer Tidak Sesuai Ketentuan Kepegawaian
Pada Tahun 201X Pemerintah Kabupaten Tanah
Air Beta menganggarkan Belanja Pegawai sebesar Rp385.1xx.8xx.6xx,7x
dengan realisasi sebesar Rp349.9xx.3xx.0xx,4x atau sebesar 90,87%. Anggaran
Belanja Pegawai tersebut antara lain dialokasikan untuk anggaran Belanja
Honorarium Non PNS (Belanja Langsung) sebesar Rp87.1xx.5xx.5xx,0x dan telah direalisasikan
selama TA 201 sebesar Rp79.8xx.0xx.9xx,0x atau sebesar 91,60%.
Anggaran Belanja Honorarium Non PNS ini digunakan untuk membayar gaji/honor
Pegawai Honorer (PH) yang diangkat dengan keputusan Kepala SKPD setiap tahun.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah antara lain menyatakan Belanja Pegawai
adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD dan pegawai
pemerintah daerah.
Aturan mengenai pegawai pemerintah mengacu
pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang
antara lain menyatakan bahwa ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PPPK merupakan pegawai ASN
yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian (dhi. Bupati) dengan masa kerja paling singkat satu tahun dan dapat
diperpanjang sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah. Namun undang-undang
ini belum memiliki aturan pelaksanaan.
Status PH di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tanah Air Beta berbeda dengan PPPK sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, karena PPPK diangkat dengan keputusan kepala
daerah, sedangkan PH diangkat dengan keputusan Kepala SKPD.
Status pengangkatan PH ini sama dengan Tenaga
Honorer (TH) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
2005 yang telah diubah dua kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56
Tahun 2012. Dalam peraturan pemerintah tersebut, TH adalah seseorang yang
diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain (dapat diangkat
oleh Kepala SKPD) dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada
instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban APBN atau APBD.
Namun dalam peraturan pemerintah ini, pengangkatan Tenaga Honorer (atau yang
sejenis) telah dilarang sejak tanggal 11 November 2005, kecuali ditetapkan
dengan peraturan pemerintah lain, dhi. yang paling mungkin adalah peraturan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 yang belum terbit. Hal ini
dipertegas dengan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 814.1/169/SJ tanggal 10
Januari 2013 perihal Penegasan Larangan Pengangkatan Tenaga Honor. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pengangkatan PH oleh Kepala SKPD melanggar ketentuan
yang berlaku.
Pendelegasian wewenang Bupati kepada Kepala
SKPD untuk mengangkat PH diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 42 Tahun 2014
tentang Pembinaan Pekerja Kontrak pada SKPD Kabupaten Tanah Air Beta. Sesuai
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK)
merupakan hasil pendelegasian wewenang dari Presiden (selaku pemegang
kekuasaan tertinggi pembinaan ASN) kepada Bupati, dan tidak ada pengaturan
lebih lanjut mengenai pendelegasian lebih lanjut wewenang tersebut dari Bupati
ke pihak lain. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan poin 212 dinyatakan bahwa kewenangan
yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan
lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika Undang-Undang
yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pendelegasian wewenang Bupati kepada Kepala SKPD untuk
mengangkat PH telah menyalahi ketentuan, atau dengan kata lain, Kepala SKPD
seharusnya tidak punya wewenang untuk mengangkat PH.
Selanjutnya diketahui bahwa pemberian
kebebasan kepada Kepala SKPD untuk mengangkat PH tidak diimbangi dengan
monitoring dan pengendalian yang memadai. Bagian Organisasi Setda hanya
berperan dalam menerima laporan jumlah PH yang telah diangkat
oleh Kepala SKPD tanpa ada wewenang untuk membatasi. Badan
Kepegawaian dan Pengelola Sumber Daya Manusia (BKPSDM) tidak memiliki data yang
akurat mengenai jumlah PH di setiap SKPD.
Berdasarkan data yang disampaikan Bagian Organisasi Setda, diketahui bahwa posisi tanggal 31 Desember 201X, jumlah PH di 35 SKPD adalah sebanyak 3.076 orang, belum termasuk jumlah pegawai honor pada Kecamatan Beirut Utara dan
Dinas Kehutanan, yang tidak diperoleh informasinya sampai
dengan berakhirnya pemeriksaan tanggal 8 Mei 2017. Rincian
jumlah pegawai honorer pada 33 SKPD sebanyak 3.076 orang dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel
5. Jenis dan Jumlah Pegawai Honor pada 33
SKPD
No.
|
Jenis PH
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
Tenaga Teknis
|
1.996
|
Diangkat dengan SK
Kepala SKPD dan tersebar di 33 SKPD
(rincian di Lampiran
15)
|
2
|
Satpam
|
291
|
|
3
|
Cleaning Service
|
578
|
|
4
|
Operator Boat
|
56
|
|
5
|
Co.Operator Boat
|
13
|
|
6
|
Supir
|
80
|
|
7
|
Penataan Halaman
|
7
|
|
8
|
Tukang Kebun
|
15
|
|
9
|
Tukang Masak
|
16
|
|
10
|
Laundry
|
12
|
|
11
|
Pegawai Sukarela
|
12
|
|
Jumlah Total
|
3.076
|
Pengangkatan tenaga PH dilakukan dengan
keputusan Kepala SKPD sebagai Pengguna Anggaran, dan dilaporkan ke Bagian
Organisasi Sekretariat Daerah. Bagian Organisasi Setda hanya sebagai penerima
laporan penerimaan PH, bukan berperan sebagai pengendali. Sedangkan BKPSDM
sebagai pelaksana tugas pokok dan fungsi kepegawaian juga tidak mengetahui
kondisi PH di SKPD. Batasan Kepala SKPD hanya pagu anggaran Belanja Honorarium
Non PNS yang dialokasikan di SKPD-nya, sehingga terkesan hanya bertujuan untuk
menghabiskan/menyerap anggaran yang diberikan. Contoh daftar Surat Keputusan
Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik selama tahun 201X tentang pengangkatan
PH dapat dilihat pada Lampiran 16.
Selain itu diketahui bahwa pengangkatan
pegawai honorer selama ini tidak didasarkan pada rencana dan analisa kebutuhan
pegawai berdasarkan beban kerja. Selama ini belum ada mekanisme evaluasi dan
monitoring atas kehadiran dan kinerja pegawai honorer (pegawai tidak tetap)
setelah diangkat. Hasil cek fisik ke 25 kantor SKPD antara tanggal 13 s.d. 21 April 2017 ditemukan isian absensi tenaga
honorer, namun absensi tidak diketahui manfaatnya karena tidak ada pemberlakukan
pemotongan honorarium bagi PH.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
|
Belanja Pegawai sebesar
Rp79.8xx.0xx.9xx,0x tidak tepat digunakan untuk pembayaran gaji PH yang
diangkat hanya dengan keputusan Kepala SKPD;
|
b.
|
Tidak ada pengendalian atas
pengangkatan jumlah PH oleh SKPD;
|
c.
|
Pengangkatan PH oleh Kepala SKPD
tidak berdasarkan analisa kebutuhan dan beban kerja SKPD;
|
d.
|
Tidak ada penatausahaan bukti
kehadiran PH yang handal.
|
Kondisi tersebut tidak
sesuai dengan:
a.
|
||
1)
|
Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan
PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b merupakan Pegawai ASN yang
diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan
Undang-Undang ini;
|
|
2)
|
Pasal 53 yang menyatakan
Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat
mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan
pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan
pejabat fungsional keahlian utama kepada (antara lain) bupati/walikota di
kabupaten/kota;
|
|
b.
|
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan poin 212 yang menyatakan
kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak
dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain,
kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut
dibuka kemungkinan untuk itu;
|
|
c.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS yang terakhir
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 Pasal 8 yang menyatakan sejak ditetapkannya
Peraturan Pemerintah ini (dhi. tanggal 11 November 2005), semua Pejabat
Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang
mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
|
|
d.
|
||
1)
|
Pasal 27 ayat (7) yang
menyatakan klasifikasi belanja menurut jenis belanja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja
modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil dan bantuan
keuangan, belanja tidak terduga;
|
|
2)
|
Pasal 27 ayat (8) yang
menyatakan penganggaran dalam APBD untuk setiap jenis belanja sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), berdasarkan ketentuan perundang-undangan;
|
|
3)
|
Penjelasan pasal 27 ayat (7)
huruf a yang menyatakan Belanja Pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam
bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD dan pegawai pemerintah daerah
baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas
pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan
pembentukan modal. Contoh: gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi
sosial, dan lain-lain sejenis;
|
|
e.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2016 pada Lampiran di
Poin III.2.a.6)b.2) yang menyatakan penganggaran honorarium bagi PNSD dan Non
PNSD memperhatikan asas kepatutan, kewajaran dan rasionalitas dalam
pencapaian sasaran program dan kegiatan sesuai dengan kebutuhan dan waktu
pelaksanaan kegiatan dalam rangka mencapai target kinerja kegiatan dimaksud.
Berkaitan dengan hal tersebut, pemberian honorarium bagi PNSD dan Non PNSD dibatasi
dan hanya didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan PNSD dan Non PNSD
dalam kegiatan benar-benar memiliki peranan dan kontribusi nyata terhadap
efektifitas pelaksanaan kegiatan;
|
|
f.
|
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 814.1/169/SJ tanggal 10 Januari 2013 perihal Penegasan Larangan Pengangkatan Tenaga Honor yang antara lain menyatakan Gubernur dan Bupati/Walikota
dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenisnya.
|
Kondisi tersebut mengakibatkan realisasi Belanja Pegawai untuk pembayaran Belanja Honorarium Non PNS sebanyak
kurang lebih 3.076 orang sebesar Rp79.8xx.0xx.9xx,0x
memboroskan keuangan daerah dan membebani APBD Kabupaten Tanah
Air Beta TA 201X.
Kondisi tersebut
disebabkan oleh:
a.
|
Bupati sebagai Pejabat Pembina
Kepegawaian tidak tegas dengan memberikan kewenangan kepada Kepala SKPD
melalui peraturan bupati;
|
b.
|
Kepala Badan Kepegawaian Daerah
(sekarang BKPSDM) tidak melaksanakan peran sebagai manajemen pengelola
kepegawaian;
|
c.
|
Para Kepala SKPD lalai dengan
mengangkat pegawai honor tidak memperhatikan kemampuan daerah.
|
d.
|
Bupati sebagai Pejabat Pembina
Kepegawaian tidak tegas dengan memberikan kewenangan kepada Kepala SKPD
melalui peraturan bupati;
|
Atas permasalahan tersebut, Kepala Badan
Kepegawaian dan Pengembangan SDM mengakui temuan BPK dan akan melakukan kajian
kebutuhan tenaga honorer dengan manajemen pengelolaan yang lebih jelas.
BPK merekomendasikan Bupati agar:
a.
|
Mencabut/membatalkan Peraturan
Bupati Nomor 42 Tahun 2014 tentang Pembinaan Pekerja Kontrak pada SKPD
Kabupaten Tanah Air Beta. Salinan bukti pencabutan/pembatalan perbup setelah
divalidasi oleh Inspektorat disampaikan kepada BPK Perwakilan Provinsi Aman
Jaya;
|
b.
|
Membuat analisis beban kerja dan
kebutuhan minimal pegawai daerah sesuai ruang jabatan dalam organisasi
perangkat daerah, ketersediaan PNS, dan kekurangan/gap antara kebutuhan dan
ketersediaan pegawai. Salinan hasil analisis beban kerja dan kebutuhan
minimal pegawai daerah setelah divalidasi oleh Inspektorat disampaikan kepada
BPK Perwakilan Provinsi Aman Jaya;
|
c.
|
Memerintahkan seluruh Kepala
SKPD menghentikan seluruh pengangkatan Pegawai Honorer sebelum ada hasil
analisis beban kerja yang mempertimbangkan kualifikasi dan kompetensi serta
jumlah pegawai yang dibutuhkan SKPD. Salinan data perbandingan jumlah,
kualifikasi, dan realisasi belanja honorarium PH per SKPD berdasarkan
analisis beban kerja setelah divalidasi oleh Inspektorat disampaikan kepada
BPK Perwakilan Provinsi Aman Jaya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Known commenters are the best, anonymous' are also welcome, spammers please go away.